Gak bakat nulis, maksain nulis. Alhasil….

Jadilah tulisan amburadul ini. Tapi gapapa. Karena saya penganut teori “semua orang bisa jadi penulis” (yang sebenarnya saya gak tahu siapa yang pernah bilang kayak begini). Tapi beneran lho gapapa. Toh penulis-penulis masyhur saat ini, saya yakin mereka juga gak ujug-ujug bisa nulis. Langsung diterima oleh semua orang, kejual di pasaran dan langsung jadi karya-karya best seller yang dipajang di etalase paling depan. Nggak! Pasti mereka juga melewati proses seperti ini. Yang membedakan proses di awal itu adalah, mereka terus konsisten untuk menulis. Tak peduli seberapa jelek tulisannya, wajah orang yang mengkerut dibuatnya, bahkan tidak sedikit caci maki yang mereka terima dari pembacanya. Mereka tidak menyerah. Malah mempelajari letak kesalahan dari tulisannya dan berusaha agar tulisan mereka selanjutnya bisa diterima dengan baik oleh pembacanya.


(Oke, jadi tulisan ini sebenarnya mau bahas apa? Dari tadi ngalor ngidul pembahasannya -_-) 

awkward via unsplash.com 

Well, saya bukan motivator yang akan membuatmu merasa termotivasi untuk menulis. Saya hanya ingin….. menulis. Itu saja? Ya, sesimpel itu. Tapi saya yakin ketika kamu membaca ini, kamu akan dipenuhi dengan keinginan menggebu untuk mengklik tombol back dan memaki di dalam hati “APAAN SIH?!” :D Tapi saya juga yakin bahwa ada kamu yang masih sabar untuk membaca tulisan ini sampai selesai dan rela menghabiskan waktu untuk membaca. Terimakasih karena itu manis sekali :))


Baiklah, saya akan bercerita sedikit tentang masa kecil saya yang membahagiakan (karena beban terberat saya waktu kecil adalah PR yang diberikan oleh guru saya, yang tidak seberapa sebenarnya). Saya ingat sekali waktu saya duduk di bangku kelas 6 sekolah dasar, saya pernah menulis sebuah cerita fiksi untuk pertama kali. Saya suka membaca saat itu, terlebih membaca komik, buku cerita dan segala buku yang ada gambarnya plus tulisannya tidak rapat-rapat :D. Saya menulis sebuah cerita berjudul “Saat Monyet Ingin Mandi”. Bisa kamu bayangkan isi cerita itu? Sangat tidak masuk akal, ya saya tahu. Tapi apa salahnya dengan imajinasi anak kecil? Saya menuliskan cerita itu di sebuah buku tulis, per bab. Setiap selesai menulis satu bab, saya akan menunjukkan tulisan itu ke teman-teman saya untuk mereka baca. Dan saya amat sangat terkejut dengan respon mereka yang bersemangat sekali menunggu bab bab selanjutnya.


Respon baik dari mereka memberikan saya semangat untuk terus menulis dan mengembangkan ide cerita. Sampai akhirnya cerita itu selesai dan si monyet bisa mandi setelah petualangan panjangnya :D. Saya sudah lupa detail ceritanya seperti apa, tapi saya senang mengenangnya. Andai saya bisa menemukan buku pusaka itu, pasti saya akan tertawa geli membacanya. Bukan hanya karena isi cerita yang sudah pasti amburadul, tapi juga menyadari bahwa tulisan tangan saya saat itu tak kalah amburadul (meski begitu saya bersyukur karena teman-teman saya masih bisa membaca tulisan tangan saya dan menikmati cerita yang saya tulis).


Lalu sekarang muncullah pertanyaan dari saya untuk diri saya sendiri;

“Kenapa gak diterusin lagi nulis?”

Terlalu banyak kenapa yang membuat saya pusing untuk menjawab pertanyaan dari diri saya sendiri. Sebenarnya saya masih berusaha untuk aktif menulis saat saya masuk sekolah menengah pertama. Tapi tulisan yang saya buat hanya tulisan-tulisan pendek untuk melengkapi mading (majalah dinding) sekolah. Saya bergabung dalam klub mading yang ada di sekolah. Sehingga saya hanya fokus untuk membuat konten apa yang akan ditampilkan di mading sekolah per periodenya dibanding untuk menulis seperti saat saya di sekolah dasar (walau saat itu saya sangat menikmatinya). 


Lalu beranjak SMA, saya sudah benar-benar jarang menulis. Tapi sekedar informasi, saya masih senang nulis diary (ini adalah kebiasaan saya semenjak sekolah dasar). Di masa-masa sekolah menengah atas, saya lebih suka mambaca puisi dan karya-karya fiksi. Hingga akhirnya saya bertemu dengan seseorang yang ternyata juga menyukai puisi dan dunia tulis menulis. Sebenarnya orang itu adalah teman sekelas saya, tapi karena saya tidak terlalu membuka diri untuk orang lain saat sekolah menengah atas, saya tidak tahu hal itu hingga akhirnya kami sama-sama duduk di bangku kelas XII. Dia aktif menulis, mulai dari puisi, cerpen, blog bahkan saat kami ditugaskan untuk membuat film pendek, dia yang menulis naskahnya. Hal itu membuat semangat saya membara untuk kembali menulis, hingga akhirnya saya memutuskan untuk membuat sebuah blog dan mulai menulis. Namun sayang, karena saya tidak begitu percaya diri dengan tulisan saya, blog yang sudah terisi itu sekarang kosong :D Ya. Saya menghapus semua tulisan saya di blog dan menonaktifkannya hingga saya lulus kuliah! 


Saya terkekeh menulis ini. Sekarang, saya memutuskan untuk kembali menulis di blog berkat seseorang juga :D Saya tergelitik karena teman saya yang baru saja saya kenal kurang lebih setahun terakhir ini aktif menulis blog. Saya membaca beberapa tulisannya dan membuat saya tergerak untuk menulis. “Okey, let’s do this!”


Doakan saya agar istiqomah :) Saya juga akan berdoa, semoga kamu yang baca tulisan ini akan baca tulisan-tulisan saya selanjutnya! 

 
Smile via unsplash.com


Komentar

  1. Huaaa! I'm a proud friend karena Susi ngabarin langsung kalo tulisan blognya terbit! :D

    That's OK, kalo kata Raditya Dika, "semua penulis sama-sama memulai dari kertas kosong" , "menulislah untuk dirimu sendiri dulu."

    Btw, tulisan Susi bagus dan asik! Plus aku ketawa pas baca "Saat Monyet Ingin Mandi", wkwk. Seandainya aku bisa baca cerita itu :D

    Keep it up yaa, Susi. Aku menanti tulisan -tulisanmu yang selanjutnya! ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihi makasiih udah mampir, Maa :)

      Ditunggu yaa tulisan2 ku berikutnya, semoga aja bisa istiqomah kayak Irma ^^

      Hapus
  2. Wahhh 😍😍 jngn lupa mampir di blogku juga 😉

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih sudah mampir kak :) Saya sudah kunjungi blognya.

      Hapus
  3. Semangat terus ya Kak nulisnya. Semoga Allah Mudahkan selalu.

    Jangan lupa berkunjung ke Blog Teddy juga Hehe

    BalasHapus

Posting Komentar